Jumat, 19 Juni 2009

FISIKA INTI

HAI KAWAN-KAWAN MAHASISWA FISIKA, KALAO ANDA BUTUH MATERI FISIKA INTI BISA DI DOWNLOAD DI SINI, ATAU DI SANA. SEMOGA PAHAM.
DISINI JUGA BOLEH

Beramal Ilmu dengan Menulis

Oleh: Al Jupri **Pengantar** Cobalah, kepada teman Anda, ajukan pertanyaan: “Apakah kamu bisa menulis?” Ajukan pula pertanyaan ini pada guru, dosen, orang tua, tetangga, atau bahkan pada diri Anda sendiri. Bagaimana kira-kira jawaban atas pertanyaan ini? Kalau hanya sekedar menulis huruf, bilangan, kata, ataupun kalimat saja sih, saya yakin banyak yang bisa. Tapi, bila untuk menulis buku ataupun karya tulis yang lain, saya yakin banyak yang tak bisa. Bahkan sekelas profesor bahasa/sastra pun, yang bergelut di dunia “kebahasaan”, banyak yang tak punya karya tulis. Aneh bin ajaib! Mengapa bisa terjadi seperti ini? Apa penyebabnya? Saya tak akan membahas penyebabnya, tapi hanya akan bercermin pada diri-sendiri, mengingat dan mengenang masa lalu, bagaimana saya belajar bahasa/sastra sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan cara seperti ini mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya, khususnya bagi diri saya untuk mau dan terus menulis. Dengan perkataan lain, mengenang masa lalu untuk menatap masa depan agar dapat berkarya di dunia tulis-menulis. **Pengalaman Belajar Bahasa** Seingat saya, ketika belajar bahasa di SD (Sekolah Dasar) yang sering dipelajari adalah menghafalkan peribahasa atau pantun, membaca puisi, membaca dan mendengar ceritera, menghafalkan macam-macam bentuk dan struktur kalimat, menghafalkan penggunaan tanda baca, dan kadang-kadang diminta oleh guru untuk mengarang atau menulis surat. Belajar bahasa kala itu lebih ditekankan pada hafalan. Hal ini tampak pada saat guru memberi ujian (di SD dikenal dengan nama ulangan), soal-soal yang diberikan lebih banyak porsinya untuk hafalan, hanya sedikit untuk mengarang (menulis). Bagaimana belajar bahasa/sastra di SMP atau SMA? Jawabnya, masih relatif sama dengan ketika belajar di SD, bahkan lebih ironis lagi mengarang (menulis) itu hanya ada ketika ulangan saja. Waktu itu pada saat ulangan, bila ada soal mengarang, saya terkesan menyepelekan soal semacam ini, kami (saya dan kawan-kawan sekelas saya) menyebutnya “Mengarang Indah”. Artinya, sekedar menulis untuk memenuhi lembar jawaban yang disediakan (kami beranggapan guru tak akan memeriksanya, paling-paling yang lembar jawabannya penuh maka nilainya bagus). Di perguruan tinggi, ternyata belajar bahasanya mirip-mirip juga seperti di sekolah. Menghafalkan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), tata bahasa, tugas membuat makalah, dan kemudian ujian. Hingga perguruan tinggi ini (sebelum saya merencanakan dan merancang untuk menulis skripsi), saya masih belum mengerti dan paham benar gunanya belajar bahasa. Materi bahasa yang saya pelajari seperti: tata tulis, bentuk-bentuk dan struktur kalimat, peribahasa, dan semacamnya itu seolah-olah tak terpakai. Mengapa? Ya, karena pada saat saya mengarang (menulis), menulis makalah misalnya, saya biasanya kurang mengindahkan tata tulis, struktur kalimatnya kurang terperhatikan, dan sebagainya. Teori-teori tentang bahasa yang sudah dipelajari dan menumpuk itu, pada saat menulis, sedikit sekali yang saya ingat dan saya terapkan. Padahal kalau ujian, teori-teori itu malah saya ingat benar, terbukti nilai bahasa saya bagus. Untunglah, pada saat menulis skripsi, saya dibimbing oleh orang yang amat cermat dan memperhatikan benar tentang bahasa. Mulai dari mengajukan proposal penelitian, tulisan saya (yang saya anggap sudah baik), ternyata setelah diajukan ke pembimbing dan dikembalikan ke saya, tak berbentuk (penuh dengan coretan dan komentar). Mulanya saya kecewa berat, putus asa, malu pada diri sendiri, malu dapat nilai bagus, dan sebagainya. Beruntunglah, saya masih sempat berfikir jernih, sehingga skripsi saya bisa diselesaikan. Berulang kali saya datang ke pembimbing (seminggu bahkan sampai tiga kali saya melakukan perbaikan) untuk terus dan terus dibimbing, terutama dalam hal tata tulis. Sempat saya iri pada kawan-kawan yang begitu mudah dalam bimbingan (hanya sekali atau dua kali perbaikan). Pada saat itulah, saya benar-benar mengerti penting dan perlunya belajar bahasa. Mengapa? Karena bahasa yang dipelajari tak hanya teori saja, tapi benar-benar dipraktikkan dalam bentuk tulisan. Dengan perkataan lain gara-gara skripsi, akhirnya saya berpandangan positif terhadap bahasa. Dan, gara-gara skripsi juga saya mengerti arti dari bahasa sebagai alat berfikir. **Menulis itu...Cara Cerdas untuk Beramal** Melalui tulisan, cara berfikir atau penalaran seseorang dapat terlihat dan terdokumentasi. Ada juga yang berpendapat bahwa kualitas dan kuantitas tulisan menggambarkan kecerdasan seseorang. Melalui tulisan pula seseorang dapat mengubah pandangan orang lain, dapat mempengaruhi pendapat masyarakat, mengkomunikasikan ide dan gagasannya, mewariskan ilmu dan pengalamannya, dan dapat mengubah peradaban dunia. Mengapa bisa seperti ini? Ilmu pengetahuan yang kita pelajari saat ini tampaknya mustahil dapat dipelajari bila tak terdokumentasi melalui tulisan. Patut kita ucapkan terimakasih yang mendalam kepada para pendahulu kita yang telah mewariskan pengetahuannya. Tak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya bila para ilmuwan dahulu tak menuliskan pengetahuannya? Dahulu, saya sempat kagum dan terpesona dengan orang-orang hebat dan pintar di bidangnya. Mereka sering menyarankan untuk banyak membaca dan menimba pengetahuan. Merekapun sering pula menyarankan untuk terus belajar dan belajar. Namun, kebanyakan di antara mereka banyak yang tak punya karya tulis. Sehingga sekarang, kekaguman saya menjadi pudar. Mengapa? Benar bahwa membaca itu dapat menambah pengetahuan. Benar juga bahwa perintah agama (Islam) yang pertama diturunkan adalah membaca. Namun, menurut hemat saya, membaca itu perlu diimplementasikan. Salah satu bentuk implementasi dari membaca adalah menulis. Bukankah kita dapat membaca buku-buku, matematika, fisika atau bahasa misalnya, karena ditulis? Jangan-jangan para ilmuwan, yang hebat dan pintar-pintar itu, akan dimasukkan ke Neraka gara-gara tak mau menulis dan berbagi pengetahuan pada orang lain. Mudah-mudahan sih tidak… dan saya berharap tidak… Seseorang, nama dan kehebatannya akan dikenang, akan hidup dan lebih terabadikan sepanjang jaman, salah satunya karena tulisannya. Bandingkan dengan orang hebat/pintar tapi tak punya karya tulis, namanya akan tenggelam seiring waktu berjalan, hanya sebatas masa hidupnya. Dan hal ini banyak sekali contohnya, apalagi di Indonesia ini (Mohon maaf bila ada pihak-pihak yang tidak berkenan, karena saya sendiri merasa tersinggung dengan sindiran saya sendiri). Namun demikian, yang perlu diingat adalah bahwa menulis itu bukan untuk pamer pengetahuan. Bukan pula sebatas bentuk aktualisasi diri untuk dapat pengakuan dari orang lain, apalagi hanya untuk kenaikan karir belaka. Menulis pada hakekatnya adalah bentuk rasa syukur kita pada sang pencipta, yakni sebagai salah satu bentuk pengabdian (ibadah) dan bentuk amaliah kita di dunia. Menulis adalah bentuk kontribusi kita bagi peradaban manusia, yang akan menjadi bekal untuk anak cucu kita kelak. Mereka yang berilmu dan ahli di bidangnya, tapi tak mau menuliskannya ibarat orang yang berfikir tapi tak mau beramal. Kalau boleh saya katakan mereka itu pelit akan ilmu dan pengetahuan. **Penutup** Atas dasar uraian di atas, saya tergerak dan terbakar semangat saya untuk mau dan terus menulis. Ketika ada buku tentang menulis, rasanya saya malu karena belum mampu membuat buku tentang bidang yang saya geluti. Ketika disinggung lemahnya para ilmuwan Indonesia dalam hal tulis menulis, saya pun ikut kecewa dan malu. Namun demikian, tak ada kata terlambat untuk memulai menulis. Saat ini juga, ya saat ini juga saya harus terus menulis. Permintaan Saya minta komentarnya, dari Anda semua, wahai pembaca…. Terimakasih…. Ingin tahu lebih lanjut tentang saya? Silakan kunjungi: http://mathematicse.wordpress.com/

Transformasi Fourier - Kapan muncul frekuensi-nya?

Kalau Anda belum tahu cerita saya tentang Transformasi Fourier silahkan klik disini. Jika sudah saya punya pertanyaan…

Baiklah pakai contoh saja dengan Matlab…

Kita buat sebuah sinyal sebagai berikut, masih sama seperti sebelumnya, namun kali ini kedua frekuensi, yaitu 100 Hz dan 200Hz tidak muncul bersamaan tetapi bergantian, apakah Transformasi Fourier mampu melihat kedua frekuensi ini?

fs = 1000;
t = 0:1/fs:0.5;
tx = [t t+t(length(t))];
y1 = sin(2*pi*100*t);
y2 = sin(2*pi*200*t);
y = [y1 y2];
plot(tx,y);
title(’Sinyal dengan kandungan 2 frekuensi’)
xlabel(’waktu (detik)’);

Hasilnya, gambaran dari sinyal yang saya tanyakan adalah sebagai berikut

SIAPA PRESIDEN ANDA 2009